ads

Slider[Style1]

Style2

Style3[OneLeft]

Style3[OneRight]

Style4

Style5

(Gunung Sinabung/dok)
HarianSumut.com- Percaya tidak percaya soal kebenaran menyangkut mitos aura ‘gaib’ di puncak Gunung Sinabung semua itu berpulang kepada keyakinan kita masing-masing. Maka untuk itu, HarianSumut.com kembali mengingatkan pembaca soal pengalaman para pencinta alam yang pernah mengalami peristiwa unik seperti yang disadur dari laman website sorasirulo.com yang ditulis oleh Bapak Usaha Bangun Barus. Tidak ada salahnya kita baca secara berulang-ulang dan semoga bermanfaat!.

Mio Augustus 1978, saya dengan beberapa teman dari SMA Negeri 4 Medan bergabung dengan Pramuka SMP Negeri 8 Medan (Gugus Depan 235/236) dan SMA Khalsa Medan melakukan pendakian Gunung Sinabung dari Desa Gurukinayan. Jumlah peserta pendakian mencapai ratusan orang dari ketiga sekolah ini. Sebelum melakukan pendakian, kami terlebih dahulu camping di tepi sungai di bawah Desa Gurukinayan.
Siang itu langit cerah tak berawan. Memang kebetulan musim kemarau. Kami semua merasa senang bisa mengikuti kegiatan sedemikian rupa. Apalagi saat itu kami masih remaja. Tentunya kesempatan emas itu dipergunakan untuk mengenal satu sama yang lainnya.

Saat pendakian, sudah disepakati Pkl. 18.00 Wib. Penunjuk jalan dari desa setempat sudah Ok. Begitu juga segala persiapan tenda, ransel, obor dan makanan sudah mantap. Kami sudah tidak sabar untuk segera melakukan pendakian. Apalagi ini adalah yang pertama kami melakukan pendakian untuk menaklukkan Gunung Sinabung setelah beberapa kali kami melakukan hal serupa ke Gunung Sibayak. Namun, 3 jam sebelum rencana pendakian, seorang nenek penduduk setempat mengingatkan kepala rombongan kami agar tidak melakukan pendakian pada sore itu.

“Malam ini ada yang berpesta di atas sana. Mereka tidak mau diganggu!!!” kata sang nenek.

Sempat terjadi pro kontra tentang kepastian pendakian kami sore itu. Apalagi peringatan itu hanya berbau mistis belaka. Akhirnya, dengan semangat juang 45 kamipun berangkat juga sesuai dengan rencana.
Dengan obor di tangan kiri, tongkat di tangan kanan dan ransel di pundak, kami saling berbaris beriringan mulai melakukan pendakian dengan mengumandangkan lagu “Naik naik ke puncak gunung”.

Cuaca sangat cerah dengan terlihatnya langit memerah di arah Barat sana. Suasana hati kami pun tak kalah cerahnya. Dua jam setelah pendakian, posisi kami sudah lewat setengah perjalanan. Tiba tiba angin kencang disusul oleh hujan yang sangat lebat. Pakaian kami menjadi basah kuyup, kedinginan dan ketakutan bercampur jadi satu. Keberadaan setiap regu yang tadinya rapi sekarang menjadi kucar kacir. Kakak-kakak pembina pun sudah entah ke mana tiada lagi yang mengkomandoi.

Ada yang kembali turun ke desa. Ada yang bertahan berteduh di tempat dan ada yang terus melaju mendaki ke puncak. Saya termasuk salah satu dari yang hanya belasan orang yang tetap nekad melaju untuk terus melakukan pendakian. Pantang menyerah.

Akhirnya, kami sampai juga ke puncak walaupun langkah kami sudah tertatih-tatih dan merangkak. Di puncak, hujan sudah reda tapi tiupan angin masih kencang. Kami pun berlindung di balik bebatuan besar untuk menghindari kebekuan. Gula merah satu satunya yang bisa kami konsumsi untuk memulihkan tenaga dan melawan kedinginan saat itu.

Esok harinya ketika fajar tiba, wow…. dengan cuaca yang sangat cerah terlihatlah pemandangan yang sangat menakjubkan dengan kawah yang aduhai. Bunga edelweiss yang tumbuh dan mekar di tebing di kejauhan dan terlihat dari atas keberadaan Taneh Karo yang begitu indahnya, tak terlukiskan dengan kata-kata. Begitu sempurnanya ciptaan sang Pencipta.

Setelah puas berkeliling di seputaran puncak, kami pun kembali menuruni lereng menuju pulang dengan rasa kepuasan tersendiri.

Sesampainya kami di Jambur Gurukinayan, sekitar Pkl, 15.00 Wib, kami melihat ada kegaduhan di situ. Apa gerangan? Rupanya masih ada puluhan orang lagi teman kami yang belum kembali ke Posko Utama di Jambur tersebut. Kemudian Tim SAR dari Kabanjahe pun datang dibantu oleh beberapa penduduk setempat untuk melakukan pencarian dan evakuasi. Sampai keesokan harinya lagi.

Satu demi satu teman-teman berhasil ditemukan. Ada yang masih dalam keadaan segar, ada yang sudah lemas, ada yang dalam keadaan pingsan dan 3 orang peserta dari SMA Khalsa ditemukan sudah kaku tak bernyawa lagi.

Ohhhh, isak tangis kami pun pecah seketika… Ketika dicari sang nenek yang mencegah pendakian kami dua hari sebelumnya, penduduk tak ada yang mengenalnya setelah diceritakan cirri-cirinya oleh kepala rombongan kami.

Hiiiiii…. merinding bulu kuduk ini saat itu. Wuihhhhhhh.
Rasanya itu mistis, tapi itulah yang kami alami 35 tahun silam.
Oh, Sinabungku…. Engkau memang penuh dengan misteri…….
(Kabanjahe, 06 Nopember 2013)

About Unknown

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Posting Lebih Baru
»
Previous
Posting Lama

Tidak ada komentar:


Top